Renungan Pagi: Nafas, Taman, dan Sunyi yang Tidak Baik (Kejadian 2:1–25)
Baca Kitab Kejadian Pasal 2
Pagi ini aku bangun lebih lambat dari biasanya. Ada keheningan yang agak berat, tapi juga menenangkan. Langit masih buram, suara burung belum terlalu ramai. Rasanya seperti dunia juga sedang menarik napas.
Lalu aku buka Alkitab dan membaca Kejadian pasal 2.
Di sini, ceritanya lebih pelan dari pasal sebelumnya. Kalau Kejadian 1 seperti paduan suara megah tentang penciptaan alam semesta, Kejadian 2 terasa seperti bisikan—lebih dekat, lebih personal. Tuhan tidak lagi hanya berkata "Jadilah...", tapi sekarang Dia membentuk manusia dari debu, dengan tangan-Nya sendiri, dan menghembuskan napas ke dalam hidung manusia. Napas itu—napas Tuhan—jadi hidup yang pertama.
Aku berhenti sebentar di situ.
Tuhan membentuk dari debu—bahan paling rendah, paling biasa. Tapi Dia juga memberi napas-Nya sendiri—bagian paling kudus. Jadi, kita ini rapuh dan mulia sekaligus. Itu membuatku berpikir: mungkin wajar kalau kadang aku merasa kuat, kadang lemah. Mungkin keduanya memang bagian dari siapa aku sebenarnya.
Lalu Tuhan menempatkan manusia di taman Eden. Bukan cuma sebagai tamu, tapi sebagai pengelola. Diberi tanggung jawab untuk mengusahakan dan memelihara. Tuhan juga memberikan batasan—tentang satu pohon yang tidak boleh dimakan buahnya. Batas itu bukan jebakan, tapi perlindungan. Karena kasih yang sehat memang tahu kapan harus berkata “cukup.”
Tapi yang paling menyentuh buatku adalah saat Tuhan berkata,
> “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.”
Ayat itu sederhana, tapi menggetarkan. Tuhan sendiri yang melihat kesunyian manusia—bahkan ketika dia hidup di taman yang sempurna, bahkan sebelum ada dosa. Itu artinya, merasa kesepian bukanlah kelemahan, tapi bagian dari kondisi manusia yang dilihat dan dipedulikan oleh Tuhan.
Kadang aku juga merasa sendiri, bahkan di tengah keramaian. Tapi pas baca bagian ini, aku merasa dilihat. Dikenal.
Dan Tuhan tidak membiarkan manusia tetap sendiri. Ia membuat perempuan, bukan dari tanah, tapi dari tulang rusuk—dekat dengan hati. Relasi pertama itu bukan soal hierarki atau peran, tapi soal kehadiran. Saling melengkapi. Saling menemani. Saling menjadi tempat bernaung.
Hari ini aku diingatkan bahwa:
Aku tidak diciptakan secara kebetulan.
Aku ditiup oleh napas Allah sendiri—berarti hidupku punya bobot dan makna.
Aku dipercaya untuk menjaga sesuatu, entah pekerjaan, orang-orang, atau bahkan diriku sendiri.
Dan aku tidak diciptakan untuk berjalan sendiri.
Mungkin aku belum tahu semua tujuan hidupku. Tapi hari ini, aku ingin memulai dengan satu langkah kecil: hidup dengan sadar bahwa aku dibentuk oleh kasih yang personal. Dan bahwa di balik sunyi, Tuhan sedang membentuk sesuatu yang baik.
Terima kasih, Tuhan, untuk pagi ini.
Bantu aku pelan-pelan mengusahakan dan memelihara hari ini. 🫶
Comments
Post a Comment