Renungan Pagi: Jangan Menoleh Lagi (Kejadian 19:1–38)


Pagi ini aku membaca Kejadian pasal 19—dan rasanya seperti membaca kisah tentang dua jalan:
yang satu menuju penyelamatan, yang satu menuju kehancuran. Tapi di tengah semua itu, aku melihat betapa Tuhan masih peduli, bahkan pada orang yang nyaris tidak mau diselamatkan.

Lot duduk di pintu gerbang Sodom. Ia sudah menjadi bagian dari kota itu.
Saat dua malaikat datang, ia menyambut mereka. Tapi malam itu, Sodom menunjukkan wajah aslinya—kekerasan, kebobrokan, dan tidak ada rasa takut akan Tuhan.

Para pria kota mengepung rumah Lot. Mereka ingin menyerang tamu-tamunya. Lot berusaha melindungi mereka—tapi dengan cara yang juga mengerikan: menawarkan anak perempuannya sebagai ganti.
Bacaan ini bikin aku bergidik. Tapi mungkin itulah kenyataannya saat kita terlalu lama tinggal di tempat yang salah—kita mulai kehilangan kepekaan akan yang benar.

Pagi pun tiba. Malaikat menyuruh Lot dan keluarganya segera keluar.

“Bangunlah, bawalah istrimu dan kedua anakmu perempuan, sebab engkau akan dilenyapkan bersama-sama dengan kesalahan kota ini.” (ayat 15)

Tapi Lot berlambat-lambat. Dan ayat berikutnya sangat menyentuh:

“Ketika ia berlambat-lambat, maka tangan kedua orang itu memegang tangannya, tangan isteri dan kedua anaknya perempuan, sebab TUHAN hendak mengasihani dia...” (ayat 16)

Lot diselamatkan bukan karena ia hebat, tapi karena Tuhan mengasihani dia.
Bahkan saat ia bingung, ragu, dan lambat—Tuhan masih menggandeng tangannya.

Tapi lalu datang peringatan yang tajam:

“Jangan menoleh ke belakang dan jangan berhenti di mana pun juga di lembah...” (ayat 17)

Istri Lot menoleh.
Dan ia menjadi tiang garam.

Aku pernah berpikir, “Kenapa sih cuma menoleh doang, kok langsung dihukum?”
Tapi menoleh itu bukan soal gerakan leher, tapi kondisi hati.
Istri Lot tidak benar-benar meninggalkan Sodom. Separuh hatinya masih di sana. Ia tidak percaya bahwa apa yang ada di depan lebih baik dari yang ia tinggalkan.

Dan aku terdiam lama di bagian ini.

Berapa banyak hal yang sudah Tuhan suruh aku tinggalkan, tapi aku masih menoleh?
Hubungan? Kebiasaan lama? Identitas palsu?
Dan berapa kali Tuhan sudah menggandeng tanganku, tapi aku masih ragu melangkah?

Pagi ini aku belajar:

Tidak semua yang akrab itu aman. Sodom nyaman bagi Lot, tapi membahayakan jiwanya.

Tuhan tidak menunggu aku sempurna. Ia mau menyelamatkan bahkan saat aku lambat.

Tapi saat Tuhan sudah suruh lari—lari. Jangan menoleh. Jangan simpan sisa masa lalu di hatimu.

Kadang, keselamatan bukan tampak seperti kemenangan… tapi seperti kehilangan yang disengaja demi hidup yang lebih utuh.

Tuhan, hari ini aku ingin belajar melangkah tanpa menoleh.
Kalau Engkau sudah bilang cukup, maka cukup.
Kalau Engkau sudah bilang tinggalkan, maka aku mau lepaskan.

Terima kasih, karena bahkan saat aku lambat dan ragu—tangan-Mu tetap menggandengku.

Aku mau percaya bahwa apa yang ada di depan jauh lebih baik… karena Engkau ada di sana.

Comments

Popular posts from this blog

Lirik Mars Lansia GMIM

KHOTBAH PRIA KAUM BAPA GMIM (Pembacaan Alkitab: Amsal 9:1-18)

Renungan: Saat Hidup, Berdiakonia-lah (Lukas 16:19-31)