Renungan Pagi: Janji Itu Diperbarui, Namaku Diubah (Kejadian 17:1–27)
Pagi ini aku membaca Kejadian pasal 17—saat Tuhan datang lagi kepada Abram, dua puluh empat tahun setelah janji pertama diberikan.
Abram kini sudah berusia sembilan puluh sembilan tahun. Dan Tuhan berkata:
“Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela.” (ayat 1)
Kalimat itu seperti panggilan untuk kembali lurus setelah perjalanan panjang penuh belokan.
Sudah terlalu lama menunggu, terlalu banyak keputusan sendiri, terlalu banyak kompromi. Tapi Tuhan datang bukan untuk menghapus, melainkan memperbarui.
Dan janji itu ditegaskan ulang:
“Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa.”
“Engkau akan disebut Abraham.” (ayat 4–5)
Abram—yang berarti "bapa yang mulia"—diubah menjadi Abraham, “bapa banyak bangsa.”
Namanya diubah. Identitasnya diperluas.
Bukan hanya tentang anak, tapi tentang pengaruh dan panggilan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Bukan hanya Abraham, Sarai pun tidak dilupakan.
“Janganlah engkau menyebut dia Sarai, tetapi Sara, itulah namanya.” (ayat 15)
Dan Tuhan berkata: “Aku akan memberkatinya dan juga memberimu anak laki-laki dari padanya.”
Bayangkan: selama ini Abraham dan Sara mungkin sudah menyerah. Mereka sudah mencoba jalan pintas (dengan Hagar), sudah terlalu lelah untuk berharap. Tapi Tuhan belum selesai.
Abraham bahkan tertawa—mungkin karena harapan yang terlalu lama dipendam bisa terasa seperti lelucon.
“Masakan seorang yang berumur seratus tahun dilahirkan seorang anak, dan Sara yang telah berumur sembilan puluh tahun itu akan melahirkan?” (ayat 17)
Aku suka kejujuran ini.
Kadang aku pun seperti Abraham—tidak menolak Tuhan, tapi tidak benar-benar percaya lagi karena sudah terlalu sering dikecewakan oleh waktu.
Tapi Tuhan tidak menertawakan tawanya. Tuhan malah menguatkan janjinya.
Dan Tuhan memberikan satu hal baru: sunat. Sebagai tanda perjanjian. Sebagai pengingat fisik bahwa janji Tuhan tidak hanya kata-kata, tapi sesuatu yang mengikat tubuh dan hidup.
Pagi ini aku belajar:
Tuhan bisa datang bahkan setelah sekian tahun harapan mulai padam. Dan Ia tidak datang dengan marah, tapi dengan janji yang diperbarui.
Nama bisa berubah. Identitas bisa bertumbuh. Yang dulu kupikir cukup, ternyata hanya permulaan bagi Tuhan.
Kadang aku tertawa karena tidak yakin lagi. Tapi Tuhan tidak menyerah pada mereka yang mulai ragu.
Janji Tuhan bukan ilusi. Ia memberikan tanda dan pengingat agar aku tahu: Dia serius.
Tuhan, aku mungkin sudah lama menunggu.
Kadang aku pun tertawa—bukan karena bahagia, tapi karena takut berharap lagi.
Tapi pagi ini Engkau datang, dan Engkau menyebut namaku dengan cara yang baru.
Kalau Engkau mengubah Abram menjadi Abraham, dan Sarai menjadi Sara…
Ubah juga hatiku yang lelah jadi hati yang percaya lagi.
Aku tidak tahu bagaimana janji-Mu akan jadi nyata. Tapi aku ingin hidup seperti Engkau memang akan menepatinya.
Comments
Post a Comment