Renungan Pagi: Tuhan yang Melihat Aku (Kejadian 16:1–16)


Pagi ini aku membaca Kejadian pasal 16—dan aku terdiam agak lama.

Kisah ini tentang Sarai, Abram, dan Hagar. Tentang kelelahan menunggu, keputusan tergesa, dan luka yang saling menumpuk.
Sarai belum juga punya anak. Dan setelah sekian lama, ia menawarkan Hagar—hambanya—kepada Abram untuk dijadikan istri pengganti. Hagar hamil.

Lalu sesuatu yang familiar terjadi.

“Ketika Hagar tahu bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah nyonyanya itu.” (ayat 4)

Hagar berubah. Mungkin karena merasa “lebih berhasil.” Mungkin karena selama ini ia hidup sebagai bayangan, dan kini akhirnya merasa punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Tapi itu melukai Sarai.

Sarai marah. Abram lepas tangan. Dan Hagar diusir—lari, hamil, sendirian, ke padang gurun.
Luka itu menjadi lingkaran. Luka melahirkan luka.

Di bagian ini, hati kecilku sempat bertanya:
“Bukankah Hagar yang salah duluan? Bukankah dia yang bersikap sombong? Kenapa Tuhan tidak menghukumnya?”

Tapi saat aku membaca lebih pelan, aku mengerti sesuatu.

Tuhan bukan buta terhadap kesalahan. Tapi Ia juga tidak buta terhadap luka.
Hagar memang salah. Tapi dia juga korban. Budak. Perempuan tanpa kuasa atas keputusan yang besar. Ia tidak diminta persetujuannya. Ia tidak dilindungi.

Dan di padang gurun itu—Tuhan datang.

“Hai Hagar, hamba Sarai, dari manakah datangmu dan ke manakah pergimu?” (ayat 8)

Bukan teguran keras. Tapi pertanyaan lembut. Pengakuan. Nama. Identitas. Tuhan menemukannya di tempat paling sunyi. Dan lalu berkata:

“Kembalilah kepada nyonyamu dan tunduklah kepadanya.”
“Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung banyaknya.” (ayat 9–10)

Bukan janji kosong. Bukan juga toleransi atas sikap salah. Tapi jalan pemulihan.

Dan di situ, Hagar berkata:

“Engkaulah El-Roi,” katanya. “Bukankah di sini kulihat Dia yang telah melihat aku?” (ayat 13)

El-Roi.
Allah yang melihat aku.
Melihatku bukan hanya saat aku benar. Tapi bahkan saat aku salah, terluka, dan lari.

Pagi ini aku belajar:

Kesalahan tidak selalu berarti layak dihukum. Kadang Tuhan menjawab kesalahan dengan belas kasih—karena Dia tahu seluruh cerita.

Tuhan melihat lebih dalam dari apa yang tampak di permukaan. Ia melihat luka, bukan cuma sikap.

Dan ketika aku merasa lari dari segalanya, Tuhan tetap tahu di mana aku berada. Ia datang, menyapa, dan memberi jalan pulang.

Tuhan, aku juga pernah salah.
Kadang karena lelah, kadang karena ingin merasa cukup. Tapi pagi ini aku bersyukur, karena Engkau tidak menamparku dengan hukuman—Engkau menyapaku dengan nama.

Terima kasih karena Engkau tidak hanya melihat yang benar, tapi juga mengasihi yang goyah.
Aku ingin kembali. Sekalipun ke tempat yang sulit. Karena sekarang aku tahu—Engkau melihat aku.

Comments

Popular posts from this blog

Lirik Mars Lansia GMIM

KHOTBAH PRIA KAUM BAPA GMIM (Pembacaan Alkitab: Amsal 9:1-18)

Renungan: Saat Hidup, Berdiakonia-lah (Lukas 16:19-31)