Renungan Pagi: Waktu Itu Akhirnya Tiba (Kejadian 21:1–34)
Pagi ini aku membaca Kejadian 21—dan akhirnya, setelah perjalanan panjang, janji itu digenapi.
“TUHAN memperhatikan Sara, seperti yang difirmankan-Nya, dan TUHAN melakukan kepada Sara seperti yang dijanjikan-Nya.” (ayat 1)
Kalimat ini sederhana. Tapi bagiku, itu menggetarkan.
Tuhan memperhatikan.
Tuhan melakukan.
Seperti yang Dia katakan—bukan lebih cepat, bukan lebih mudah, tapi persis seperti waktunya.
Sara melahirkan Ishak, anak dari tawa dan air mata.
Dan ia berkata:
“Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku.” (ayat 6)
Tawa yang dulu pahit, kini menjadi tawa syukur.
Itu yang Tuhan lakukan. Ia menebus luka jadi sukacita. Ia memulihkan hati yang pernah hampir menyerah.
Tapi tidak lama setelah sukacita itu, datang satu keputusan sulit.
Hagar dan Ismael—anak dari kompromi masa lalu—harus pergi.
Sara melihat Ismael mengejek Ishak. Ia minta agar Hagar dan anaknya diusir.
Dan Abraham pun berduka, karena Ismael tetap anaknya.
Namun Tuhan berkata:
“Janganlah menganggap itu pahit di hatimu karena anak itu dan karena hambamu itu;… keturunanmu yang sesungguhnya akan disebut berasal dari Ishak.” (ayat 12)
Dan Tuhan tidak membuang Ismael.
Ia tetap menjaga Hagar dan anaknya di padang gurun.
Ketika air habis dan Hagar menangis, Tuhan mendengar suara anak itu… dan menyediakan air di tengah tandusnya tanah.
“Allah membuka mata Hagar, sehingga ia melihat sebuah sumur.” (ayat 19)
Aku suka ayat ini.
Tuhan tidak menciptakan sumur baru, Ia membuka mata Hagar untuk melihat bahwa sumur itu sudah ada.
Kadang, yang aku butuh bukan keajaiban baru, tapi mata yang dibuka agar aku bisa melihat kasih Tuhan yang sudah dekat.
Dan bagian akhir pasal ini—Abraham membuat perjanjian damai dengan Abimelek.
Setelah semua pergumulan, datang masa tenang.
Dan Abraham menanam pohon tamariska, lalu memanggil nama Tuhan:
“TUHAN, Allah yang kekal.” (ayat 33)
Setelah penantian, air mata, tawa, pengusiran, dan perjanjian… Abraham menyadari satu hal:
Tuhan tidak pernah berubah. Ia tetap Allah yang setia, dari awal sampai akhir.
Pagi ini aku belajar:
Janji Tuhan selalu digenapi. Tidak selalu cepat, tapi selalu tepat.
Tuhan bisa mengubah tawa pahit menjadi tawa syukur.
Kadang, masa lalu harus dilepaskan agar masa depan bisa tumbuh. Dan itu menyakitkan, tapi perlu.
Di padang gurun hidupku, mungkin sumur itu sudah ada. Aku hanya perlu mata yang dibuka oleh-Nya.
Tuhan bukan hanya Allah di titik awal, tapi Allah yang kekal—yang menyertai sampai cerita selesai.
Tuhan, hari ini aku bersyukur.
Bukan karena semua sudah selesai, tapi karena aku melihat jejak-Mu nyata.
Engkau memperhatikan.
Engkau melakukan.
Engkau tidak pernah terlambat.
Buka mataku, Tuhan, untuk melihat sumur yang telah Kau sediakan.
Dan ajari aku untuk tertawa lagi—karena Engkau memang setia.
Comments
Post a Comment