Renungan Pagi: Apakah Ada yang Mustahil? (Kejadian 18:1–33)
Pagi ini aku membaca Kejadian 18—dan rasanya seperti menyaksikan dua dunia dalam satu pasal:
yang satu tentang janji dan tawa, yang satu tentang keadilan dan doa. Tapi keduanya mengungkap satu hal yang sama: hati Tuhan yang sangat dekat dengan manusia.
Bagian pertama:
Tuhan dan dua malaikat datang ke kemah Abraham. Tidak dengan petir atau awan, tapi dalam rupa tiga orang asing. Abraham menyambut mereka, menyediakan air, makanan, tempat istirahat.
Dan di tengah jamuan sederhana itu, Tuhan menyampaikan sesuatu yang sudah lama dinanti:
“Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan dan Sara, istrimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki.” (ayat 10)
Sara mendengar. Dan ia tertawa.
Bukan tawa sukacita. Tapi tawa pahit yang tidak terdengar di mulut tapi bergema di hati.
“Masakan aku akan melahirkan, sedang aku telah menjadi tua?” (ayat 12)
Tapi Tuhan tahu. Bahkan tawa yang tersembunyi pun dikenali oleh-Nya. Dan Ia bertanya:
“Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN?” (ayat 14)
Pertanyaan itu menggantung di udara.
Dan aku membawanya ke hatiku hari ini.
Apakah ada yang mustahil untuk Tuhan?
Untuk harapanku yang sudah hampir mati?
Untuk tubuh yang sakit?
Untuk hubungan yang retak?
Untuk mimpi yang sudah lama dikubur?
Tuhan tidak menegur Sara karena tawanya. Tapi Ia menantangnya untuk percaya lagi.
Kadang, pertolongan Tuhan datang bukan saat kita sedang beriman besar, tapi saat kita sedang kehabisan percaya—dan justru di situlah Tuhan masuk.
Lalu bagian kedua pasal ini berubah suasana:
Tuhan memberitahu Abraham bahwa Ia akan menghukum Sodom dan Gomora. Dan Abraham berani berdiskusi dengan Tuhan. Ia bertanya, memohon, menawar demi menyelamatkan orang benar.
“Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” (ayat 23)
Dari 50 hingga 10, Abraham terus memohon. Dan yang mengejutkan adalah: Tuhan mendengarkan.
Ia tidak berkata: “Berhenti mengatur-Ku.”
Ia mendengarkan… dengan sabar.
Ini menunjukkan dua hal yang sangat indah:
1. Tuhan ingin berbicara, bukan sekadar memerintah.
2. Doa yang jujur dan berani punya tempat di hadapan-Nya.
Pagi ini aku belajar:
Tuhan bisa datang dalam bentuk yang sangat manusiawi. Dalam tamu yang lapar. Dalam percakapan yang sederhana.
Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan—bahkan saat aku sendiri sudah tidak percaya lagi.
Tuhan menghargai doa yang jujur, yang berani bernegosiasi. Ia tidak takut ditanya.
Dan yang paling penting: Tuhan mau dekat. Ia mau mengikat janji. Ia mau mendengar isi hati.
Tuhan, hari ini mungkin ada bagian dalam diriku yang sudah lama tertawa pahit,
karena terlalu sering menunggu dan terlalu lama kecewa.
Tapi Engkau bertanya: “Apakah ada yang mustahil bagi-Ku?”
Ajari aku menjawab: tidak. Tidak ada.
Dan kalau aku punya seseorang yang ingin aku doakan, seperti Abraham mendoakan Sodom,
beri aku keberanian untuk berdiskusi dengan-Mu—bukan karena aku lebih bijak, tapi karena aku tahu Engkau rindu mendengar.
Aku ingin belajar percaya, dan berdoa, seperti Abraham.
Comments
Post a Comment