Renungan Pagi: Saat Tuhan Meminta yang Paling Aku Kasihi (Kejadian 22:1–19)
Pagi ini aku membaca Kejadian pasal 22—dan aku terdiam lama.
Karena ini bukan pasal yang mudah.
Ini tentang pengorbanan. Tentang kepercayaan. Tentang ujian yang terasa… terlalu berat.
Tuhan memanggil Abraham—dan ia menjawab, “Ini aku.”
Lalu datang perintah yang seperti membelah jantung:
"Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran..." (ayat 2)
Tuhan menyuruh Abraham mempersembahkan Ishak.
Anak yang dijanjikan. Anak yang begitu ditunggu-tunggu. Anak yang dikasihi.
Ishak bukan sekadar anak—dia adalah janji, harapan, masa depan.
Dan tidak ada protes. Tidak ada debat panjang.
Hanya satu kalimat:
“Keesokan paginya, pagi-pagi bangunlah Abraham…” (ayat 3)
Aku berhenti di situ.
Karena jujur, aku tidak tahu apakah aku bisa seperti itu.
Melepaskan sesuatu yang begitu aku kasihi.
Menyerahkan sesuatu yang selama ini aku pikir sebagai jawaban doa.
Aku membayangkan malam sebelum perjalanan itu.
Apakah Abraham bisa tidur?
Apakah ia sempat bergumul, bertanya: “Tuhan, kenapa?”
Tapi besok paginya… dia tetap melangkah.
Langkah demi langkah menuju gunung Moria.
Membawa kayu. Membawa pisau. Membawa api. Dan membawa iman.
Sampai Ishak bertanya, polos:
“Ayah, mana anak domba untuk korban bakaran itu?”
Dan Abraham menjawab:
“Allah yang akan menyediakan.” (ayat 8)
Itu kalimat iman… tapi juga kalimat luka.
Karena belum ada kepastian. Belum ada pengganti.
Hanya keyakinan bahwa Allah tak mungkin keliru.
Dan tepat sebelum pisau itu turun—Tuhan menghentikannya.
Ada suara dari surga. Ada penyediaan di semak-semak.
Ada kasih yang menyela di detik terakhir.
Renungan pagi ini mengajarkanku:
Kadang Tuhan meminta kita menyerahkan hal yang paling kita cintai.
Bukan karena Ia kejam. Tapi karena Ia ingin tahu:
Apakah hati kita lebih memilih-Nya… daripada memilih berkat-Nya?
Terkadang, Tuhan membawa kita ke altar bukan untuk kehilangan,
tapi untuk menemukan bahwa Dia sungguh cukup.
Bahwa kasih-Nya lebih kuat daripada rasa takut akan kehilangan.
Bahwa penyediaan-Nya tidak pernah terlambat.
Tuhan tidak mencari korban berdarah.
Ia mencari hati yang sungguh taat. Yang rela. Yang percaya.
Bahkan saat belum tahu akhir ceritanya.
Tuhan, aku mungkin belum seperti Abraham.
Masih sering takut, masih suka menggenggam terlalu erat.
Tapi ajarku percaya… bahwa di tangan-Mu, apa pun yang aku lepaskan tidak akan sia-sia.
Bantu aku menyerahkan, bukan karena terpaksa,
tapi karena tahu Engkau cukup.
Hari ini aku belajar:
Melepaskan bukan selalu tentang kehilangan,
tapi tentang mengalami Tuhan lebih dekat.
Karena Engkau, Tuhan, adalah Allah yang menyediakan.
Jehovah Jireh. Dan sampai hari ini, nama itu masih benar.
Comments
Post a Comment