KHOTBAH Mazmur 145:1–21 “Biarlah Segala Makhluk Memuji Nama-Nya yang Kudus”
Shalom,
Damai di hati...
Hari ini kita diajak merenungkan satu mazmur yang begitu indah, Mazmur 145, dengan perikop “Puji-pujian karena kemurahan Tuhan.” Dari awal sampai akhir, mazmur ini penuh dengan kesadaran bahwa hidup manusia bahkan seluruh ciptaan pada dasarnya diarahkan untuk satu hal yaitu memuliakan Tuhan.
Kalau kita perhatikan, pemazmur tidak hanya mengajak manusia untuk memuji, tetapi juga menyebut “segala makhluk.” Seolah-olah mau digambarkan bahwa semesta raya, dari burung yang berkicau sampai ombak yang bergulung, semua ikut bernyanyi bersama. Semua ciptaan diajak memuji Nama-Nya yang Kudus.
Namun mari kita jujur. Dalam kehidupan sehari-hari, kata pujian sering kali terasa sangat manusiawi. Kita senang dipuji, bahkan kadang kita haus pujian. Dalam bahasa sehari-hari ada istilah “makang puji/papujien,” artinya seseorang merasa kenyang, bahagia, atau berharga kalau dipuji. Sementara kalau tidak ada pujian, hatinya bisa terasa kosong. Bukankah sering kita tersenyum lebar hanya karena orang lain mengakui kerja kita?
Dipuji orang memang sudah melekat dalam diri kita manusia. Karena kita makhluk sosial, wajar saja hati terasa senang saat ada yang menghargai usaha kita, menilai kerja keras kita, atau sekadar berkata “terima kasih.” Itu normal. Itu manusiawi.
Tetapi masalah muncul ketika pujian berubah menjadi kebutuhan utama kita. Saat hidup kita terasa kosong kalau tidak ada yang memuji, di situlah tanda bahaya. Kita bisa terjebak dalam “makang puji” atau “haus pujian.” itu.
Mazmur 145 telah menolong kita mengarahkan kembali hati kita. Pemazmur menegaskan bahwa hanya Tuhanlah pusat segala pujian. Mengapa? Karena berbeda dengan manusia yang dipuji hanya karena keberhasilan sesaat, Tuhan dipuji karena sifat-Nya yang kekal yang memiliki kasih setia, kebaikan, kemurahan, dan kesetiaan-Nya yang tidak pernah berubah.
Kadang, tanpa sadar, kita lebih sering mengejar pengakuan manusia. Kita merasa puas saat ada yang memuji hasil kerja kita, penampilan kita, bahkan pelayanan kita. Tapi ketika tidak ada yang memperhatikan, hati kita mudah kecewa, seolah-olah semua usaha jadi sia-sia. Padahal, tanpa Tuhan, kita tidak ada. Napas hidup kita ini pun adalah bukti kemurahan-Nya.
Pemazmur berkata: “Tuhan itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua yang tertunduk.” (ayat 14). Itu berarti Kita memuji Tuhan bukan karena hidup selalu mudah, tetapi justru karena di tengah kesulitan sekalipun, Tuhan tetap setia.
Nama Tuhan itu melambangkan pribadi, kuasa, dan kekudusan-Nya. Jadi, saat pemazmur berkata “Biarlah segala makhluk memuji Nama-Nya yang Kudus,” itu berarti seluruh ciptaan diundang untuk mengakui kebesaran Tuhan. Bukan hanya kata-kata, tetapi seluruh keberadaan ciptaan yang hidup, bergerak, dan bernapas menjadi wujud pujian. Dengan kata lain, pujian sejati bukan hanya dinyanyikan, tetapi dihidupi.
Mengapa demikian?
Karena kita ada hanya oleh kasih karunia-Nya. Kita memuji bukan supaya Tuhan makin besar (Tuhan itu sudah Mahabesar) tetapi karena supaya hati kita belajar bersyukur. Pujian adalah respons iman. Dengan memuji, kita mengalihkan fokus dari diri sendiri kepada Tuhan. Kalau pujian manusia bisa membuat kita cepat puas atau kecewa, maka pujian kepada Tuhan membebaskan kita dari kehausan itu. Kita jadi mengingat bahwa kasih dan kemurahan-Nya cukup bagi hidup kita.
Oleh karna itu kita sebagai gereja perlu menolong orang lain supaya pujian tidak berhenti di bibir. Kita bisa mengingatkan bahwa ibadah bukan hanya liturgi Minggu saja, tetapi juga sikap hati kita dalam kehidupan setiap hari.
Sebagai Gerejapun kita bisa mengajarkan bahwa pujian bukan untuk mencari pengakuan manusia, melainkan untuk meninggikan Tuhan dan menghormati Nama-Nya yang Kudus.
Dan dari itulah Gereja sebagai gedung juga bisa menolong jemaatnya agar tidak terjebak dalam budaya “makang puji” atau “haus pujian.” Sebab hidup yang selalu mengejar pujian manusia akan berakhir dengan kekecewaan.
Hidup yang berpusat pada Tuhan mengajarkan kita hal yang berbeda. Tuhan tidak menilai kita dari sorotan manusia, melainkan dari ketulusan hati.
Karena itu patutlah kita renungankan ini dalam kehidupan kita, apakah hari-hari kita lebih banyak dihabiskan untuk mencari pengakuan manusia, atau justru pengakuan Tuhan?
Kuncinya bukan menolak pujian manusia. Kalau ada orang yang memuji, syukuri itu sebagai penguatan. Tapi jangan sampai pujian jadi alasan utama kita melakukan segala sesuatu. Kalau motivasi kita hanya untuk dipuji, kita akan mudah kecewa dan kehilangan arah saat tidak ada yang memperhatikan.
Mazmur 145 mengingatkan kita bahwa pujian terbesar sudah kita terima dari Tuhan sendiri. Dia berkenan kepada kita, Dia menopang, Dia setia. Itulah alasan mengapa segala makhluk diajak untuk memuji Nama-Nya yang Kudus. Maka biarlah pujian manusia kita anggap hanya sebagai “bonus,” bukan fondasi. Fondasi sejati hidup kita tetaplah kasih dan kemurahan Tuhan.
Kiranya kita belajar hidup dengan sederhana, jujur, penuh kasih, sehingga lewat hidup kita, orang lain pun bisa melihat kebesaran Tuhan. Itulah pujian yang sejati.
Amin.
__________________
Kalau renungan ini memberkati hidupmu, aku ajak kamu untuk membaca renungan lainnya juga. Siapa tahu, ada tulisan lain yang bisa meneguhkan langkahmu hari ini.
Comments
Post a Comment