Renungan Pagi: Di Antara Lahir dan Mati Kejadian 5:1–32
Pagi ini aku membaca Kejadian 5—pasal yang kelihatannya membosankan di awal. Isinya silsilah: siapa melahirkan siapa, berapa lama hidupnya, lalu mati.
Awalnya, aku tergoda untuk melewatinya saja.
Tapi saat membaca lebih pelan, ada sesuatu yang menyentuh. Ada pola yang berulang:
“X hidup sekian tahun, memperanakkan Y, lalu hidup sekian tahun lagi, dan mati.”
Lahir. Hidup. Mati.
Diulang terus. Nama demi nama. Generasi demi generasi.
Dan di tengah pola yang sama itu, aku tiba-tiba merasa kecil—tapi juga dilihat.
Karena hidup memang seperti itu, ya?
Kita lahir. Kita berjalan. Kita menjalani hari-hari yang kelihatannya biasa. Lalu kita mati.
Tapi di antara awal dan akhir itu, ada cerita. Ada kemungkinan untuk hidup dengan makna.
Lalu satu nama berbeda: Henokh.
“Henokh hidup bergaul dengan Allah selama 300 tahun…”
“… dan ia tidak ada lagi, sebab Allah mengangkat dia.” (ayat 22, 24)
Henokh tidak mati. Ia “bergaul dengan Allah”—dan itu diulang dua kali, seolah penulis ingin kita memperhatikan sesuatu.
Dari semua nama, hanya Henokh yang disebut seperti itu.
Itu membuatku berhenti sejenak. Karena dari semua hal yang bisa dituliskan tentang seseorang—usia panjang, keturunan, prestasi—yang paling penting justru ini: bergaul dengan Allah.
Artinya mungkin sederhana: hidup dekat dengan Tuhan. Jalan bersama-Nya. Melibatkan-Nya dalam hal-hal kecil, bukan hanya hal besar. Bukan soal menjadi terkenal atau sukses, tapi soal siapa yang menemaniku dalam perjalanan ini.
🌿
Pagi ini aku belajar:
Hidup itu sementara. Tapi juga berarti.
Nama-nama yang dilupakan manusia tetap dicatat Tuhan. Tidak ada hidup yang benar-benar kecil di mata-Nya.
Dan bahwa berjalan bersama Tuhan lebih penting daripada berjalan jauh atau cepat.
Hari ini aku mungkin tidak akan melakukan hal besar. Tapi aku bisa memilih untuk dekat dengan Tuhan. Dalam cara berpikirku. Dalam percakapan. Dalam diam.
Mungkin itu cukup.
Mungkin itu justru segalanya.
Dan kalau suatu saat nanti hidupku diringkas hanya dalam satu kalimat…
Aku ingin kalimat itu berbunyi,
“Ia hidup bergaul dengan Allah.”
Comments
Post a Comment