Renungan Pagi: Saat Hati Takut Tidak Dilihat (Kejadian 4:1–26)



Pagi ini aku membaca Kejadian pasal 4—kisah tentang Kain dan Habel.

Dua bersaudara. Sama-sama mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan. Tapi hanya persembahan Habel yang diterima. Dan hati Kain menjadi panas. Muka Kain muram.

Reaksinya... terasa familiar.

Ada rasa iri. Ada kekecewaan. Mungkin juga rasa ditolak.

Mungkin Kain berpikir: “Kenapa bukan aku? Apa aku kurang baik? Apa aku tidak cukup?”

Lalu Tuhan mendekat—lagi-lagi, dengan kelembutan yang luar biasa:

> “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Bukankah jika engkau berbuat baik, engkau akan diterima?”

“… dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (ayat 6–7)

Tuhan tidak langsung menghukum atau menghakimi. Ia justru memberi ruang—ruang untuk refleksi, untuk memilih. Ia tahu ada pergumulan di hati Kain, dan Ia memperingatkan dengan kasih. Seperti orangtua yang bijak.

Tapi Kain memilih jalannya sendiri. Ia mengajak adiknya ke padang, dan membunuhnya.

Ayat itu—pendek dan dingin—menusuk.

> “Lalu Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia.”

Dan setelah itu, Tuhan bertanya:

> “Di manakah Habel, adikmu itu?”

Pertanyaan ini seperti gema dari pasal sebelumnya: “Di manakah engkau?”

Tapi kali ini lebih tajam. Karena bukan hanya sembunyi, sekarang ada luka. Ada korban.

Kain menjawab:

> “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?”

Satu kalimat yang dingin... dan jujur, kadang aku juga merasa begitu.

Kadang aku lupa bahwa hidupku berkaitan dengan orang lain. Bahwa aku juga “penjaga” sesamaku—bukan dalam arti mengontrol, tapi merawat. Menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang aku sendiri.

Yang mengejutkan, bahkan setelah semua ini, Tuhan tidak langsung menghapus Kain dari muka bumi. Ia menghukumnya, ya. Tapi Ia juga memberi tanda perlindungan.

> “Sebab itu TUHAN memberi tanda kepada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh siapa pun yang bertemu dengan dia.” (ayat 15)

Kain pergi—jauh dari hadapan Tuhan. Tapi bahkan dalam pengembaraan, ia masih hidup dalam naungan tanda itu. Tanda bahwa Tuhan belum selesai dengannya.


🌿

Pagi ini aku belajar:

Bahwa Tuhan peduli pada kondisi hatiku, bahkan sebelum aku melakukan apa pun.

Bahwa iri, marah, dan merasa tidak cukup adalah perasaan yang sangat manusiawi—tapi aku punya pilihan untuk tidak membiarkan itu menguasai.

Bahwa Tuhan tetap memberi peringatan dengan lembut, bukan dengan teriakan.

Dan bahwa meskipun aku jatuh—bahkan sangat dalam—kasih Tuhan tetap memberi ruang. Kadang lewat luka. Tapi tidak pernah tanpa harapan.

Kadang aku takut tidak dilihat, tidak dihargai, tidak cukup.

Tapi pagi ini, Tuhan seperti berkata,

> “Aku melihatmu. Aku tahu hatimu. Jangan biarkan itu membunuhmu dari dalam. Kamu masih bisa memilih.”

Dan aku ingin memilih kembali.

Hari ini, aku mau mulai lagi—bukan dengan pembuktian, tapi dengan pengakuan:

Bahwa aku perlu ditolong.

Dan bahwa aku juga dipanggil untuk menjaga. Bukan hanya diriku, tapi juga sesamaku.

Terima kasih, Tuhan, karena Engkau tetap mendekat. Bahkan ketika aku jauh. ✨

Comments

Popular posts from this blog

Lirik Mars Lansia GMIM

Memperlengkapi Orang Kudus bagi Pembangunan Tubuh Kristus: Menjawab pertanyaan dalam MTPJ tanggal 15-21 September 2024

Nyanyian Rohani untuk Anak Sekolah Minggu GMIM (Part 2)