Renungan Pagi: Menutup Pintu, Menunggu Hujan (Kejadian 7:1–24)
Pagi ini aku membaca Kejadian pasal 7—bagian saat air bah benar-benar datang.
Selama berhari-hari sebelumnya, Nuh membangun bahtera. Menaikkan binatang ke dalamnya. Mempersiapkan semua sesuai perintah Tuhan. Orang-orang mungkin tertawa. Langit masih cerah. Tanah masih kering.
Tapi akhirnya, hari itu tiba.
“Masuklah ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, sebab engkaulah yang Kulihat benar di hadapan-Ku di antara orang zaman ini.” (ayat 1)
Lalu semua masuk. Binatang. Makanan. Keluarga. Dan kemudian satu hal yang sangat penting terjadi:
“Lalu TUHAN menutup pintu itu di belakang Nuh.” (ayat 16)
Aku berhenti di situ.
Tuhan sendiri yang menutup pintu. Bukan Nuh.
Dan aku membayangkan bagaimana rasanya berada di dalam bahtera itu, saat pintu besar perlahan tertutup. Suara dunia di luar memudar. Dan hanya tersisa… keheningan.
Kadang taat kepada Tuhan terasa seperti itu.
Seperti masuk ke dalam sesuatu yang besar dan gelap. Seperti menunggu hujan yang belum turun. Seperti percaya bahwa badai akan datang—dan tetap memilih untuk bersiap, meski belum ada bukti.
Dan lalu hujan itu datang.
“Pada hari itu juga berpancaranlah segala mata air samudera raya yang hebat dan terbukalah tingkap-tingkap di langit.” (ayat 11)
Empat puluh hari. Empat puluh malam. Hujan terus-menerus.
Air menggenang. Gunung-gunung pun tenggelam. Semua yang hidup di luar bahtera musnah.
Dan Nuh… menunggu di dalam.
Tanpa jendela untuk melihat banyak hal. Tanpa tahu pasti kapan semua ini akan selesai. Ia hanya punya iman—dan suara Tuhan terakhir yang ia dengar sebelum pintu ditutup.
🌿
Pagi ini aku belajar:
Terkadang, ketaatan berarti memasuki ruang yang sempit dan gelap, dan tetap tinggal di sana sampai Tuhan membuka pintu berikutnya.
Kadang kita tidak butuh tahu segalanya. Kita hanya perlu tahu Siapa yang menutup pintu dan menjaga kita di dalam.
Dan bahwa hujan yang datang bukan hanya tentang hukuman, tapi juga tentang permulaan yang baru.
Mungkin aku sedang berada di musim “bahtera.”
Menunggu, di ruang yang tidak pasti. Tapi Tuhan tahu. Tuhan yang menutup pintu itu juga yang akan membukanya nanti.
Dan sampai saat itu tiba, tugasku sederhana: tetap tinggal. Tetap percaya.
Tuhan, jika hari ini terasa seperti bahtera—tertutup, terbatas, sepi—ingatkan aku bahwa aku tidak sendirian.
Engkaulah yang menuntunku masuk, dan Engkau juga yang akan membimbingku keluar.
Aku memilih percaya. Meskipun aku belum tahu kapan hujan ini akan reda.
Comments
Post a Comment